Tokoh Sufi: Abu Nawas, Penyair Ulung Nan Jenaka
Rabu, 03 Agustus 2011 17:55 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Tuhanku, hamba tidaklah pantas menjadi
penghuni surga (Firdaus).
Namun, hamba juga tidak kuat menahan panas api neraka.
Maka perkenankanlah hamba bertobat dan ampunilah dosa-dosa
hamba.
Karena sesungguhnya Engkau Pengampun dosa-dosa besar.
Dua bait syair di atas tentu sudah sangat akrab di telinga
masyarakat Indonesia terutama kaum tradisionalis Islam. Beberapa saat menjelang
shalat Magrib atau Subuh, jemaah di masjid-masjid atau musala di pedesaan
biasanya mendendangkan syair tersebut dengan syahdu sebagai puji-pujian. Konon,
kedua bait tersebut adalah hasil karya tokoh kocak Abu Nawas. Ia adalah salah
satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Abu Nawas juga muncul beberapa kali
dalam kisah 1001 Malam.
Bagi masyarakat Islam Indonesia, nama Abu Nawas atau Abu
Nuwas juga bukan lagi sesuatu yang asing. Abu Nawas dikenal terutama karena
kelihaian dan kecerdikannya melontarkan kritik-kritik tetapi dibungkus humor.
Mirip dengan Nasrudin Hoja, sesungguhnya ia adalah tokoh sufi, filsuf,
sekaligus penyair. Ia hidup di zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad
(806-814 M).
Selain cerdik, Abu Nawas juga dikenal dengan
kenyentrikannya. Sebagai penyair, mula-mula ia suka mabuk. Belakangan, dalam
perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah dan kehidupan sejati, ia
menemukan kehidupan ruhaniahnya yang sejati meski penuh liku dan sangat
mengharukan. Setelah mencapai tingkat spiritual yang cukup tinggi, inspirasi
puisinya bukan lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Ia tampil sebagai
penyair sufi yang tiada banding.
Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani
Al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M) di kota Ahvaz di negeri Persia
(Iran sekarang), dengan darah dari ayah Arab dan ibu Persia mengalir di
tubuhnya. Ayahnya, Hani Al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Marwan II.
Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci
kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Sang ibu kemudian membawanya ke Bashrah,
Irak. Di kota inilah Abu Nawas belajar berbagai ilmu pengetahuan.
Masa mudanya penuh yang kontroversi yang membuat Abu Nawas
tampil sebagai tokoh yang unik dalam khazanah sastra Arab Islam. Meski begitu,
sajak-sajaknya juga sarat dengan nilai sprirtual, disamping cita rasa
kemanusiaan dan keadilan.
Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al-Anshari dan
Abu Ubaidah. Ia juga belajar Alquran kepada Ya'qub Al-Hadrami. Sementara dalam
Ilmu Hadis, ia belajar kepada Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya
bin Said Al-Qattan, dan Azhar bin Sa'ad As-Samman.
Pertemuannya dengan penyair dari Kufah, Walibah bin Habab
Al-Asadi, telah memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak
kesusastraan Arab. Walibah sangat tertarik pada bakat Abu Nawas yang kemudian
membawanya kembali ke Ahwaz, lalu ke Kufah.
Di Kufah bakat Abu Nawas digembleng. Ahmar menyuruh Abu
Nawas berdiam di pedalaman, hidup bersama orang-orang Arab Badui untuk
memperdalam dan memperhalus bahasa Arab.
Kemudian ia pindah ke Baghdad. Di pusat peradaban Dinasti
Abbasyiah inilah ia berkumpul dengan para penyair. Berkat kehebatannya menulis
puisi, Abu Nawas dapat berkenalan dengan para bangsawan. Namun karena
kedekatannya dengan para bangsawan inilah puisi-puisinya pada masa itu berubah,
yakni cenderung memuja dan menjilat penguasa.
Dalam Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas
digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam, pengkhayal
ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun sayang, karya-karya
ilmiahnya justru jarang dikenal di dunia intelektual. Ia hanya dipandang
sebagai orang yang suka bertingkah lucu dan tidak lazim. Kepandaiannya menulis
puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui musikus istana, Ishaq
Al-Wawsuli, Abu Nawas dipanggil untuk menjadi penyair istana (Sya'irul Bilad).
Sikapnya yang jenaka menjadikan perjalanan hidupnya
benar-benar penuh warna. Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor
yang tinggi seakan menjadi legenda tersendiri dalam khazanah peradaban dunia.
Kedekatannya dengan kekuasaan juga pernah menjerumuskannya ke dalam penjara.
Pasalnya, suatu ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang
dianggap menyinggung Khalifah. Tentu saja Khalifah murka, lantas
memenjarakannya.
Setelah bebas, ia berpaling dari Khalifah dan mengabdi
kepada Perdana Menteri Barmak. Ia meninggalkan Baghdad setelah keluarga Barmak
jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu ia pergi ke Mesir dan menggubah puisi untuk
Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid Al-Ajami. Tetapi, ia kembali lagi ke
Baghdad setelah Harun Al-Rasyid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, syair-syair Abu Nawas berubah,
menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah dengan kehidupan duniawi
yang penuh glamor dan hura-hura, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah.
Dua bait syair di atas merupakan salah satu syairnya yang dapat dipahami
sebagai salah satu ungkapan rasa spiritual yang dalam.
Memang, pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami
kegemarannya melakukan maksiat. Tetapi, justru di jalan gelap itulah, Abu Nawas
menemukan nilai-nilai ketuhanan. Sajak-sajak tobatnya bisa ditafisrkan sebagai
jalan panjang menuju Tuhan. Meski dekat dengan Sultan Harun Al-Rasyid, Abu
Nawas tak selamanya hidup dalam kegemerlapan duniawi. Ia pernah hidup dalam
kegelapan—tetapi yang justru membawa keberkahan tersendiri.
Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi
kesaksian, akhir hayat Abu Nawas sangat diwarnai dengan kegiatan ibadah. Beberapa
sajaknya menguatkan hal itu. Salah satu bait puisinya yang sangat indah
merupakan ungkapan rasa sesal yang amat dalam akan masa lalunya.
Mengenai tahun meningalnya, banyak versi yang saling
berbeda. Ada yang menyebutkan tahun 190 H/806 M, ada pula yang 195H/810 M, atau
196 H/811 M. Sementara yang lain tahun 198 H/813 M dan tahun 199 H/814 M. Konon
Abu Nawas meninggal karena dianiaya oleh seseorang yang disuruh oleh keluarga
Nawbakhti—yang menaruh dendam kepadanya. Ia dimakamkan di Syunizi di jantung
Kota Baghdad.
Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang
telah dicetak dalam berbagai bahasa. Ada yang diterbitkan di Wina, Austria
(1885), di Greifswald (1861), di Kairo, Mesir (1277 H/1860 M), Beirut, Lebanon
(1301 H/1884 M), Bombay, India (1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya
tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, Bodliana, dan Mosul.
Salah satu cerita menarik berkenaan dengan Abu Nawas adalah
saat menejelang sakaratul mautnya. Konon, sebelum mati ia minta keluarganya
mengkafaninya dengan kain bekas yang lusuh. Agar kelak jika Malaikat Munkar dan
Nakir datang ke kuburnya, Abu Nawas dapat menolak dan mengatakan. "Tuhan,
kedua malaikat itu tidak melihat kain kafan saya yang sudah compang-camping dan
lapuk ini. Itu artinya saya penghuni kubur yang sudah lama."
Tentu ini hanyalah sebuah lelucon, dan memang kita selama
ini hanya menyelami misteri kehidupan dan perjalanan tohoh sufi yang penuh liku
dan sarat hikmah ini dalam lelucon dan tawa.
Redaktur: cr01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar