Kamis, 29 Maret 2012


Mengenal Asmak Malaikat


Asmak Malaikat adalah sebuah ajaran spiritual jawa yang inti ajarannya adalah memohon kepada Tuhan agar kita diberi pertolongan melalui perantara malaikat-Nya. Asmak Malaikat yang berasal dari Sunan Muria ini bukanlah ajaran agama tertentu, melainkan sebuah tradisi yang mengajarkan suatu teknik olah batin dan usaha spiritual yang diyakini bisa menjadi jalan meraih tujuan tertentu.

Apabila dibenarkan menggunakan istilah "ilmu" untuk menyebut tradisi ini, maka Asmak Malaikat bisa disebut sebagai salah satu bentuk dari ilmu metafisika, ilmu supranatural, ilmu paranormal, ilmu spiritual, ilmu kasepuhan (kejawen), ilmu batin, ilmu mistik, ilmu esoterik, atau ilmu gaib. Dalam bahasa kita sehari-hari, tidak ada kesepakatan mengenai definisi berbagai istilah ilmu non-ilmiah ini. Setiap praktisi spiritual mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Namun kami rasa, semua orang bisa memahami dengan mudah bahwa yang dimaksud dengan ilmu metafisika dan semacamnya itu adalah sebuah ajaran tentang perilaku-perilaku tertentu untuk melatih kekuatan spirit (energi jiwa/roh) atau energi yang tidak terlihat.

Menurut arti bahasa, Asmak Malaikat terdiri dari dua kata dari bahasa arab, yaitu Asmak (asma') yang artinya nama dan Malaikat adalah makhluk gaib dari cahaya yang bertugas mengurusi perputaran kehidupan dunia, termasuk memberi bantuan kepada manusia yang dikehendaki Tuhan. Malaikat merupakan ciptaan Tuhan yang terpelihara daripada perbuatan jahat. Mereka tidak bernafsu, tidak punya keinginan, tidak berjenis kelamin, tidak bersuami atau isteri, tercipta tanpa proses seksual ayah-ibu dan tidak beranak.

Para Malaikat tidak tidur, tidak makam serta tidak minum dan selalu mematuhi perintah Tuhan. Mereka mampu menjelma dalam bentuk apa saja yang dikehendaki dengan izin Tuhan. Sebenarnya, jumlah malaikat banyak sekali. Tidak ada yang tahu secara pasti berapa jumlahnya. Namun umumnya orang hanya mengenal beberapa nama malaikat yang disebutkan dalam kitab suci.

Menurut keterangan Mbah Ahmad Anshori (penemu Asmak Malaikat), setiap orang yang mengamalkan Asmak Malaikat -untuk selanjutnya kami sebut "Praktisi Asmak Malaikat" atau "praktisi" saja-, maka dirinya selalu dilindungi oleh beberapa malaikat. Nama-nama malaikat yang diyakini membantu praktisi Asmak Malaikat disebutkan satu per satu dalam kalimat afirmasi Asmak Malaikat Tingkat Tiga. Namun karena indera manusia secara "default" tidak dirancang untuk bisa melihat dan berkomunikasi dengan malaikat, maka umumnya hanya pancaran energi dari malaikat saja yang bisa dirasakan manusia. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan, apabila seorang Praktisi Asmak Malaikat akan bisa melihat dan berkomunikasi dengan Malaikat. Semua itu tentunya dengan izin Tuhan Yang Maha Kuasa.

Asmak Malaikat terdiri dari 5 tingkatan. Tingkat 1, 2 dan 3 adalah tingkatan murid yang boleh dipelajari semua orang tanpa persyaratan khusus. Sedangkan tingkat 4 dan 5 hanya diturunkan kepada murid yang dianggap cukup bijaksana untuk menjadi seorang Master / Guru. Setiap tingkatan Asmak Malaikat memiliki kalimat afirmasi masing-masing yang isinya mencerminkan ajaran dan manfat Asmak Malaikat. Kalimat afirmasi bisa diibaratkan sebagai kunci untuk membuka sebuah pintu energi.

Seseorang yang tahu atau bisa mengucapkan kalimat afirmasi Asmak Malaikat, belum tentu bisa mengambil manfaat dari bacaan afirmasi tersebut, kecuali orang tersebut sudah mendapatkan mendapat restu dari seorang Master melalui proses yang kita sebut attunement (pembukaan/penyelarasan energi).

Dewasa ini, Asmak Malaikat telah diamalkan oleh ratusan (atau mungkin ribuan) pelaku spiritual yang belajar langsung dari Mbah Anshori maupun dari murid-murid Mbah Anshori yang dipercaya untuk mengetahui rahasia tertinggi Asmak Malaikat. Murid-murid Mbah Anshori ini pun ada yang mengembangkan sendiri Asmak Malaikat untuk berbagai keperluan. Anda jangan heran, jika suatu saat Anda mendapatkan ajaran yang mirip atau sama dengan Asmak Malaikat, tetapi guru yang mengajarkannya menyebutnya dengan nama yang berbeda. Guru yang demikian itu tentu punya tujuan dan alasannya masing-masing. Sedangkan bagi Pak Narendra lebih senang menjelaskan Asmak Malaikat secara apa adanya kepada murid.

Sebagian orang menganggap bahwa Asmak Malaikat adalah ilmu spiritual yang hanya berfungsi untuk keselamatan, atau ada yang malah menilainya sangat rendah dengan menyebut Asmak Malaikat sebagai "Ilmu Kebal". Menurut kami, Asmak Malaikat adalah ajaran spiritual yang mengajarkan kita untuk mendapatkan potensi spiritual tidak terbatas. Sejauh Tuhan masih menghendaki, maka berbagai kemampuan spiritual bisa kita dapatkan dengan perantaraan ajaran Sunan Muria ini.

Sampai saat ini, atas pertolongan Tuhan, kami telah berhasil mengembangkan Asmak Malaikat untuk berbagai keperluan selain untuk keselamatan. Diantaranya yang paling populer adalah untuk pengobatan berbagai penyakit yang dianggap tidak bisa disembuhkan secara medis, meningkatkan kepercayaan diri, ketenangan batin, kesadaran spiritual, dan kepekaan rasa untuk menerima isyarat dari alam.

Asmak Malaikat yang kami ajarkan kepada murid sangat unik karena sudah berkembang sedemikian rupa sehingga cara mempelajarinya menjadi lebih mudah. Manfaatnya pun berkembang menjadi lebih banyak dan dinamis. Manfaat Asmak Malaikat selalu bertambah sejalan dengan pengalaman para praktisinya. Kami yakin, masih banyak manfaat Asmak Malaikat yang belum terungkap. Kelak Anda pun bisa menemukan manfaat Asmak Malaikat yang belum pernah diketahui sebelumnya.

Murid yang mempelajari Asmak Malaikat tetap boleh mempelajari ajaran mistik, spiritual atau ilmu metafisika lain. Tidak akan ada pertentangan dan tidak akan menimbulkan efek samping negatif. Yang ada, semua latihan akan saling mendukung. Kabar baik bagi praktisi olah nafas, tenaga dalam, yoga, Rei Ki dan orang yang gemar meditasi, bahwa Asmak Malaikat sangat mudah dan cepat dirasakan oleh mereka yang sebelumnya sudah pernah menjalankan berbagai latihan metafisika.


Apakah ini termasuk "Ilmu Khodam Malaikat" ?

Jawabnya bisa "YA" dan bisa juga TIDAK, tergantung apa pengertian Anda tentang istilah "khodam". Apabila yang Anda maksud "khodam" adalah makhluk yang bersedia membantu/melayani semua keinginan dan pertintah Anda - tidak perduli itu perintah baik atau buruk - maka kami tegaskan bahwa Asmak Malaikat bukanlah Ilmu Khodam Malaikat. Dan kami tegaskan pula, bahwa Malaikat tidak diciptakan untuk "diperbudak" oleh manusia. Malaikat tidak akan membantu manusia dalam keburukan dan tidak bisa diperintah sesuka hati manusia, sesakti apapun manusia itu. Apabila ada seseorang yang menawarkan kepada Anda sebuah ilmu agar Anda bisa "memperbudak" malaikat, maka sudah pasti ini kebohongan besar.

Akan tetapi, Apabila yang Anda maksud "khodam" adalah makhluk gaib yang membantu Anda secara sukarela (tanpa meminta imbalan), dan Anda tidak berhak memerintah sesuka hati Anda, melaikan karena doa yang Anda haturkan diabulkan oleh Tuhan, dan kemudian Tuhan mengutus makhluk tersebut sebagai penolong Anda, maka Asmak Malaikat boleh disebut sebagai "ILMU KHODAM MALAIKAT".


Sekilas Sejarah Asmak Malaikat

Hamba Tuhan yang mendapatkan anugerah sebagai penyampai Asmak Malaikat adalah Mbah Ahmad Anshori yang lahir di Jepara pada tahun 1931. Awalnya beliau tidak menyangka dan tidak berharap bisa bertemu dengan roh Sunan Muria yang membimbingnya menguasai Asmak Malaikat. Karena maksud meditasi-nya di Gunung Muria hanya untuk menenangkan batin. Beliau berpuasa setiap hari, beribadah, dan banyak menyebut Nama Tuhan setiap saat. Beliau hanya ingin melepaskan emosi-emosi negatif yang timbul akibat masalah kehidupan yang selalu membuatnya tidak bahagia.

Awalnya Mbah Anshori berniat melakukan meditasi di dekat Makam Sunan Muria, tetapi karena banyaknya peziarah, maka meditasinya terasa kurang tenang. Akhirnya beliau memutuskan untuk melakukan meditasi di dekat makam Raden Gadung Sorso Kusumo yang merupakan Paman Sunan Muria. Letak makam Raden Gadung sekiatar 500 meter dari makam Sunan Muria.

Singkatnya, setelah sekitar dua tahun Mbah Anshori melakukan meditasi, pada suatu malam di tahun 1978, beliau ditemui seseorang yang memperkenalkan diri sebagai Pangeran Gadung Sosro Kusumo dan menawarkan untuk mempertemukan Mbah Anshori dengan Sunan Muria. Mbah Anshori menegaskan bahwa saat itu beliau tidak bermimpi. Beliau sadar sepenuhnya ketika berjalan mengikuti Pageran Gadung dari makam Pangeran Gadung menuju makam Sunan Muria. Bahkan dia juga bisa mendengar suara langkah kaki Raden Gadung, menandakan perwujudan Roh Raden Gadung adalah asli, bukan penjelmaan dari jin.

Selanjutnya, Mbah Ansori dipertemukan pada Sunan Muria. Pada pertemuan awal itu, tidak banyak yang disampaikan Sunan Muria kepada Mbah Anshori. Sunan Muria hanya berpesan  jika Mbah Anshori hendak menemuinya, ucapkan salam saja dari jarak jauh dengan suara lirih.

Mbah Anshori pun kembali ke makam Pageran Gadung guna meneruskan meditasinya. Hingga suatu saat ada petunjuk untuk ziarah ke makam Sunan Muria lagi. Maka, beliau ingat pesan Kanjeng Sunan agar mengucapkan salam dari kejauhan. Yang kemudian terjadi, Sunan Muria menjawab salamnya. Kemudian beliau melihat dan berdialog dengan roh Sunan Muria. Pada kesempatan kedua itu, Kanjeng Sunan Muria mengajarkan Mbah Anshori tentang Asmak Malaikat Tingkat 1.

 
Makam Sunan Muria (Bagian Dalam) Makam Pangeran Gadung Sosro Kusumo

Afirmasi atau doa yang diucapkan oleh Sunan Muria, begitu terdengar oleh Mbah Anshori, menjadikan beliau langsung hafal tanpa harus ada usaha untuk mengingat. Setelah mendapatkan ajaran Asmak Malaikat Tingkat 1, Mbah Anshori turun gunung untuk mengamalkan ilmunya di masyarakat. Meskipun waktu itu Mbah Anshori belum tahu secara pasti apa manfaat afirmasi yang diajarkan oleh Sunan Muria.

Mbah Anshori kemudian mengajarkan afirmasi Asmak Malaikat Tingkat 1 kepada beberapa orang di desa Bengkal, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Seperti telah direncanakan Tuhan, Mereka yang mendapatkan pelajaran dari Mbah Anshori kemudian mendapatkan ujian untuk membuktikan manfaat Asmak Malaikat. Sebagian dari mereka dengan tidak sengaja, terlibat perkelahian dengan orang yang menggunakan senjata tajam. Dengan pertolongan Tuhan, serangan senjata tajam tidak melukai murid Mbah Anshori tersebut.

Kejadian aneh ini kemudian dilaporkan kepada Mbah Anshori. Kejadian itu membuat Mbah Anshori menduga bahwa wejangan dari Sunan Muria adalah ilmu untuk keselamatan. Merasa mendapatkan ilmu baru yang belum sempurna, Mbah Anshori kembali ke Gunung Muria untuk melakukan meditasi. Hari demi hari, Petunjuk Kanjeng Sunan Muria terus membimbingnya. Dalam kurun waktu sekitar dua bulan, Mbah Ahmad Anshori  telah sempurna menguasai Asmak Malaikat tingkat 1 sampai 5 dan Sahadat Pamungkas. Kanjeng Sunan Muria pun mengajarkan bagaimana cara menurunkan Asmak Malaikat kepada orang lain.

Setelah selesai semua pelajaran yang diberikan oleh Sunan Muria, Mbah Anshori menguasai 5 tingkatan ilmu Asmak Malaikat, dan satu ilmu sebagai penutup yang diberi nama Sahadad Pamungkas atau "kesaksian terakhir". Sifat Asmak Malaikat lebih cenderung pada pertahanan (defensif), sedangkan Sahadad Pamungkas bersifat ageresif (menyerang dan mempengaruhi fisik dan pikiran). Sahadat Pamungkas adalah suatu ilmu yang berdiri sendiri, bukan termasuk tingkatan Asmak Malaikat. Akan tetapi, menurut tradisi, seorang murid sebaiknya sudah belajar Asmak Malaikat Tingkat 3 sebelum mempelajari Sahadat Pamungkas.

Catatan : Dalam ajaran kejawen, khususnya Asmak Malaikat yang diajarkan oleh Mbah Ahmad Anshori, memang tidak pernah dibahas adanya cakra-cakra yang diaktifkan dan diselaraskan ketika proses attunement. Akan tetapi bukan berarti Asmak Malaikat tidak berpengaruh terhadap cakra, aura, tubuh eterik (tubuh halus atau tubuh energi), nadi (saluran energi), dan energi kundalini. Setiap jenis energi eterik (energi metafisik), apapun orang menamakannya, disadari ataupun tidak, pasti akan berhubungan dengan sistem cakra - atau lebih tepatnya sistem tubuh eterik -  yang ada pada setiap manusia. Cakra merupakan organ metafisik yang mengolah berbagai jenis energi untuk tubuh fisik, jiwa, dan roh manusia.

Diantara para guru Asmak Malaikat, sepertinya Master Narendra-lah yang pertama kali membahas hubungan Asmak Malaikat dengan cakra. Mungkin karena dari sejumlah guru Asmak Malaikat, hanya Master Narendra yang sempat mempelajari secara mendalam tentang reiki, yoga, dan kundalini. Penjelasan tentang sitem cakra bisa Anda baca secara lengkap di website kami yang lain http://www.kursusreiki.com/

Secara ringkas manfaat setiap tingkatan Asmak Malaikat adalah:

Membuka dan mengaktifkan cakra mahkota sebagai jalan masuknya energi malaikat. Manfaat Asmak Malaikat bagi diri sendiri untuk keselamatan, pengobatan, pembersihan energi negatif, kebangkitan tenaga dalam dasar, kepercayaan diri, ketenangan batin dan sebagainya. Menurut keterangan Mbah Anshori, seorang yang baru mempelajari Asmak Malaikat tingkat 1, masih bisa diserang oleh orang lain yang ingin melukai, tetapi serangan apapun tidak akan menimbulkan rasa sakit atau luka.

Membuka dan mengaktifkan cakra telapak tangan untuk menyalurkan energi kepada orang lain. Membuka dan mengaktifkan cakra jantung untuk kelancaran penyaluran Energi Malaikat. Mulai bisa memanfaatkan Asmak Malaikat untuk melindungi dan mengobati penyakit orang lain. Melumpuhkan orang yang beniat jahat dalam jarak sekitar 1-5 meter dari tubuh Anda. Dengan demikian, tidak ada serangan yang menyentuh kulit Anda.

Pembukaan dan pengaktifan cakra pusar dan cakra tantien (pusat tenaga dalam) untuk memaksimalkan proses pembentukan Tenaga Dalam. Pembersihan menyeluruh pada tubuh eterik, pemurnian energi, dan pembersihan seluruh cakra utama, cakra minor, dan saluran-saluran energi untuk persiapan menjadi Master Asmak Malaikat. Energi perlindungan tingkat tinggi, menarik energi berbagai unsur logam untuk pertahanan, menangani gangguan sihir tingkat tinggi. Mengobati penyaki kronis.

Mendapatkan hak untuk memberi attunement tingkat 1 sampai 3. Menguasai teknik penyaluran energi malaikat kepada benda mati atau makhluk hidup untuk perlindungan dan pengobatan jarak dekat maupun jarak jauh. Meningkatkan kepekaan telapak tangan (pembersihan dan pengaktifan sempurna untuk cakra telapak tangan) untuk deteksi energi.

Mendapatkan hak untuk memberi attunement tingkat 1 sampai 4. Penyempurna Asmak Malaikat. Mengobati gangguan otot dan tulang. Tanpa disentuh, posisi otot dan tulang yang salah akan dibetulkan oleh Energi Malaikat. Membuka cakra ajna dan cakra mahkota lebih aktif, meningkatkan kesadaran diri, mepertajam intuisi, lebih peka pada isyarat alam,  menjadi manusia yang bahagia dan tenang batinnya dalam kondisi apapun, dan berbagai manfaat lainnya. Meditasi afirmasi tingkat 5 secara bertahap akan mengaktifkan seluruh cakra mayor dan minor, memunculkan berbagai potensi spiritual yang bisa Anda manfaatkan.

Sahadat Pamungkas
Membangkitkan tenaga dalam tingkat tinggi, pukulan jarak jauh kepada orang berniat jahat atau marah. Memantulkan (mengembalikan) kejahatan kepada pelakunya, memberi pelajaran kepada orang yang jahat agar bertobat, meredam amarah, meluluhkan hati, menjinakkan binatang buas, orang yang menghina menjadi hormat, rasa benci menjadi kasih kaming dan sebagianya.

Manfaat Asmak Malaikat dan Sahadat Pamungkas terus berkembang, seiring pengembangan dan pengalaman para praktisi selama mempelajari Asmak Malaikat. Banyak manfaat yang kemudian diketahui setelah terjadi suatu peristiwa. Terus terang kami tidak bisa memberi batasan manfaat apa saja yang bisa didapat dengan mempelajari Asmak Malaikat. Kami rasa, terbuka bagi siapapun untuk mengembangkan potensi Asmak Malaikat yang masih menjadi misteri. Sejauh Tuhan berkehendak, sejauh itulah kemampuan spiritual yang bisa kita dapatkan dari Asmak Malaikat.


Orang Pertama Yang Mendapatkan Asmak Malaikat

Sejauh pengetahuan kami, hanya Mbah Ahmad Anshori yang mendapatkan pelajaran langsung dari Sunan Muria tentang Asmak Malaikat ini. Kami tidak memastikan bahwa Mbah Anshori adalah satu-satu-nya, tetapi perlu diwaspadai dan ditelusuri kejujurannya jika suatu saat Anda bertemu orang yang mengaku mendapatkan Asmak Malaikat langsung dari Sunan Muria. Mbah Anshori mengajarkan Asmak Malaikat kepada ratusan atau mungkin ribuan murid. Sebagian murid Mbah Anshori juga mengajarkannya kepada murid lain, begitu seterusnya. Jadi tidak heran, jika suatu saat Anda mendapatkan ajaran Asmak Malaikat yang kurang lengkap atau bahkan diselewengkan, dikarenakan sifat, pemahaman dan tujuan manusia (baca : murid Mbah Anshori) yang berbeda-beda.

Waktu Mbah Anshori mendapatkan Asmak Malaikat (tahun 1978), Sunan Muria secara fisik memang sudah meninggal dunia. Namun para pelaku spiritual dan sebagian besar orang beragama meyakini bahwa "roh orang suci" tetap bisa memberikan bimbingan kepada manusia di dunia.

Mungkinkah Asmak Malaikat pernah diajarkan Sunan Muria saat masih hidup di dunia ? Kami tidak tahu pasti mengenai hal ini. Sejauh pengetahuan kami dan pencarian informasi selama ini, belum ada orang yang mengaku mendapatkan Asmak Malaikat secara turun-temurun yang mana ajaran tersebut disampaikan oleh Sunan Muria saat masih hidup di dunia.


Pantangan Pemilik Asmak Malaikat

Mbah Anshori pernah menjelaskan, bahwa praktisi Asmak Malaikat tidak boleh melakukan 3 hal dengan sengaja seumur hidupnya. Jika hal itu dilanggar, maka kemampuan spiritual yang dimilikinya akan luntur, dan untuk mengembalikannya dia harus mendapatkan attunement dari gurunya lagi. Tiga hal tersebut adalah:
Tidak boleh memakan daun atau buah mengkudu.
Tidak boleh memengang kendi (teko atau tempat air minum dari tanah khas jawa) yang sedang dipegang orang lain.
Tidak boleh menyatukan/menempelkan telapak kaki kanan dengan kiri.
Tanpa maksud meremehkan tradisi dan keyakinan guru kami (Mbah Anshori), kami memperbolehkan murid untuk melakukan 3 hal di atas. Dengan syarat murid tidak punya keyakinan bahwa melakukan 3 hal di atas bisa menghilangkan kemampuan spiritualnya. Sebenarnya, apa yang terjadi pada diri kita adalah dari buah pikiran dan keyakinan kita sendiri. Kami mengatakan demikian bukan asal bicara. Kami telah melakukan percobaan kepada beberapa murid. Kepada sebagian murid kami beri pantangan seperti di atas, dan kepada sebagian lagi kami mengatakan bahwa Asmak Malaikat tidak ada pantangan.

Setelah beberapa lama, kami perintahkan semua murid untuk memakan buah mengkudu. Kami tidak menjelaskan alasan apapun ketika memerintah mereka memakan buah yang dilarang tersebut. Apa yang terjadi kemudian? Murid yang kami beritahu tentang adanya pantangan, seketika hilang kepercayaan dirinya, dan kemampuan spiritualnya pun menurun drastis. Baru setelah kami lakukan attunement ulang kemampuan spiritual mereka kembali normal. Di lain pihak, murid yang belum tahu adanya pantang tersebut tidak mengalami penurunan kemampuan spiritual.

Jadi kesimpulan kami, mengenai 3 pantang di atas adalah tergantung pikiran Anda meyakininya. Kami tidak memberi pantangan apapun kepada murid yang belajar Asmak Malaikat. Namun bagi yang meyakini 3 hal di atas bisa membuat kemampuan spiritual Anda berkurang, sebaiknya Anda mematuhi pantangan tersebut.

Kalau memang boleh dilanggar, Apa tujuan diberlakukannya larangan atau pantangan di atas? - Pantangan merupakan salah satu cara guru-guru ilmu kejawen untuk mendidik murid agar bersifat mawas diri (waspada) dan sebagai tanda penghargaan terhadap ilmunya. Dengan adanya pantangan, maka seumur hidupnya, murid akan berhati-hati, waspada, menjaga perbuatan agar jangan sampai melanggar pantangan. Karena adanya pantangan pula, akan terlihat manakah murid yang sungguh-sungguh dalam belajar dan menghargai ilmu. Murid yang meremehkan ilmu dan tidak serius ingin belajar, suatu saat pasti akan berani melanggar pantangan.

Kalau Pak Narendra bagaimana? - Sebenarnya Bapak Narendra tidak meyakini, bahwa melakukan tiga hal yang dilarang tersebut akan menyebabkan hilangnya bantuan dari para Malaikat yang menjadi "khodam" Ilmu Asmak Malaikat. Namun, ada satu ucapan (yang bisa dikatakan sebagai janji) kepada guru Bapak Narendra, Mbah Ahmad Anshori. Sebelum Bapak Narendra menerima Asmak Malaikat, Mbah Anshori menjelaskan tiga pantangan tersebut. Bapak Narendra kemudian menyanggupi untuk tidak melakukan pantangan itu seumur hidup kami, kecuali dalam kondisi terpaksa. Maka bisa dikatakan Bapk Narendra juga mematuhi tiga pantangan Asmak Malaikat tersebut.

Anda sudah mengerti sekarang. Pantangan hanyalah salah satu bentuk latihan kewaspadaan dan cara menghargai subuah ilmu spiritual jawa. Nah, Anda sebagai orang yang berpikiran maju, silakan mengolah sendiri. Apakah Anda akan mematuhi pantangan Asmak Malaikat atau memilih belajar Asmak Malaikat tanpa pantangan.


  Proses Belajar Asmak Malaikat






Tata Cara Berdzikir
0
Bagaimana cara berdzikir kepada Allah SWT sehingga kita siap untuk bertemu dengan-NYA?
Dzikir adalah sebuah aktivitas yang kaya akan aspek esoteris. Ia adalah bagian laku yang harus ada dalam sebuah perjalanan suluk menempuh jalan ruhani untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Semesta Alam. Dalam prakteknya, berdzikir harus mengikuti aturan-aturan dan adab tertentu sesuai dengan cara yang dituntunkan oleh para guru spiritual sepanjang masa.
Pada kesempatan kali ini, akan dipaparkan adab berzikir dan tata cara zikir dengan harapan agar kita mendapatkan pengetahuan bagaimana berdzikir yang khusyuk agar kita bisa bertemu Allah SWT.
1. Membaca lafaz LA ILAHA ILLA ALLAH. Artinya: Tiada Tuhan selain Allah. Zikir ini disebut zikir NAFI ISBAT. Paling tidak dibaca 100 kali setiap hari terutama dibaca setelah sholat fardhu. Khususnya setelah Maghrib, Isya dan setelah sholat subuh. Lafaz ILLA ALLAH ini disebut Isbat yang artinya pengecualian atas segala sesembahan kecuali hanya Allah SWT.
2. Membaca lafaz ALLAHU. Zikir ini disebut ISMU AL-ASMA, dibaca sebanyak 33 kali sehabis sholat fardhu, terutama setelah sholat Isya.
3. Membaca lafaz zikir HUWA ALLAH. Zikir inilah yang disebut sebagai zikir GHAIB AL ISMI. Zikir ini dibaca setiap hari sebanyak 33 kali, setelah sholat fardhu, terutama setelah sholat Isya.
4. Membaca zikir HUWA, HUWA. Zikir ini disebut sebagai zikir GHAIB AL GHAIB. Zikir ini dibaca sebanyak 34 kali setelah sholat fardhu, sehingga jumlahnya (total item 2,3,4) sebanyak 100 kali.

 Adapun gerakan dalam melafazkan zikir NAFI ISBAT tersebut haruslah mengikuti aturan sebagai berikut:
1. Ketika membaca lafaz LA, maka dengan gerakan kepala, lafaz LA tersebut dimulai dari bahu kiri menuju ke bawah ke arah perut, kemudian diputarkan mengelilingi tali pusat lalu diteruskan ke arah atas menuju bahu kanan;
2. Pada waktu berada di bahu kanan itulah lafaz ILAHA diucapan sambil kepalanya dimiringkan ke arah belikat kanannya;
3. Sambil kepala ditekan ke arah hati sanubarinya, lafaz ILA ALLAH diucapkan dengan penekanan pada sudut kiri bawah dada.


\
TIGA TAHAP BERDZIKIR
Ada tiga tahap adab berdzikir. Pertama, ada lima perkara sebelum berdzikir. Kedua, dua belas perkara pada saat mengerjakan zikir dan ketiga, ada tiga perkara setelah berdzikir.
Lima perkara yang harus dilakukan sebelum berdzikir adalah sebagai berikut:
1. Bertaubat kepada Allah SWT
2. Mandi atau mengambil air wudhu
3. Diam sambil mengkonsentrasikan diri pada zikir dengan mengikhlaskan hati sebelum berdzikir
4. Hatinya meminta tolong kepada para wali-wali Allah
5. Hatinya meminta tolong kepada Nabi Muhammad SAW
Sedangkan dua belas perkara saat berzikir adalah sebagaoi berikut:
1. Duduk bersila di tempat yang suci
2. Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha
3. Membuat bau harum di tempat zikir
4. Memakai pakaian yang halal dan pakai wangi-wangian
5. Pilih tempat yang tenang dan sunyi
6. Pejamkan mata
7. Bayangkan wajah wali Allah di antara kedua mata agak maju ke depan
8. Tetap istiqomah baik dalam keadaan ada orang maupun sepi
9. Tulus ikhlas hatinya saat berdzikir
10. Dzikir utama adalah LA ILAHA ILLA ALLAH
11. Berusaha menghadirkan ALLAH SWT dalam setiap mengucapkan dzikir LA ILAHA ILLA ALLAH
12. Meniadakan wujud lain selain Allah.
 Sedangkan tiga macam adab lainnya setelah selesai berdzikir adalah:
1. Diam sejenak sesaat setelah usai melakukan dzikir dan tetap diam di tempat
2. Mengatur dan mengembalikan nafas seperti semula
3. Menahan diri untuk minum air
 Sangat dianjurkan untuk melakukan pemutihan diri dari semua amalan negatif sebelum menjalankan ritual dzikir. Caranya adalah menjalankan PUASA selama 7 hari. Usai menjalankan puasa baru kemudian menjalankan amalan zikir rutin. Bagi para pejalan spiritual yang ingin lebih mendalami laku suluknya, maka disarankan untuk melakukan dzikir dengan cara:
1. BERTAPA (Uzlah). Ini adalah syarat agar laku suluk kita semakin bagus. Uzlah adalah mengasingkan diri untuk sementara waktu dari keramaian dan dari pergaulan sehari-hari. Ini biasa dilakukan oleh murid-murid tarekat di masa silam. Bila anda berkesempatan untuk uzlah, silahkan pergi ke gunung atau hutan dan carilah sebuah gua. Siapkan bekal makan dan minum yang cukup untuk sekian lama Anda inginkan. Pedoman selesainya uzlah adalah KEMANTAPAN HATI setelah bertemu dengan apa yang dicari. Namun kini, uzlah dianggap terlalu berat sehingga sebagai penggantinya adalah menjauhkan diri dari segala bentuk perbuatan maksiyat dan terlarang syariat.
2. NGAWULO (Mengabdi). Mengabdi pada “sang guru” selama berbulan-bulan atau mungkin juga hingga bertahun-tahun. Dalam konteks sekarang, cukup kita mengabdi kepada instruksi-instruksi yang diyakini benar dan tawadhu’ (merendahkan diri) untuk tidak mengaku dirinya paling benar dibanding diri yang lain.
3. AMAL SHOLDAQOH. Mengadakan amal shodaqoh dan infaq sesuai dengan kemampuan. Ini sebuah bentuk pengorbanan dan kerelaan melepaskan apa yang dimiliki karena sesungguhnya kita hakekatnya tidak memiliki apa-apa. Hanya DIA yang Maha Memiliki.
Dalam keadaan bersih lahir batin dan untuk sementara mengosongkan diri dari pengaruh duniawi itulah kita menghadap Sang Khalik Yang Maha Suci. Saat bersuluk ini, kita diharapkan untuk selalu menjauhi pikiran kotor dan suci dari batin yang penuh prasangka negatif (suudzon) dan menggantinya dengan prasangka baik (husnudzan) kepada Allah dan kita yakin bahwa hanya DIA-lah sebaik-baiknya tempat bergantung. HASBUNA ALLAH WA NI’MAL WAKIL, NI’MAL MAULA WA NI’MA N-NASIR (Cukuplah Allah sebagai tempat bersandar bagi kami dan Dialah tempat memohon pertolongan manusia).
Apa yang akan terjadi bila kita sudah melengkapi laku suluk mulai Dzikir dan Uzlah secara lengkap? Silahkan ditunggu kejadian-kejadian gaib luar biasa yang 

Kegembiraan terpancar dari wajah para Hujjaj yang baru kembali dari Makkah. Tampak betapa keberkahan Tanah Haram menjadikan jiwa para peziarahnya lebih tenteram dan bersinar. Keletihan - dari menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan, dan juga dalam melaksanakan manasik yang membutuhkan ketekunan dan ketulusan yang besar - telah berlalu, yang tampak hanya kepuasan karena baru saja melaksanakan salah satu rukun, bahkan penyempurna dari rukun-rukun Islam.
Begitu juga halnya dengan para penyambut Bapak Haji/Ibu Hajjah baik ketika proses debarkasi maupun setibanya mereka kembali ke rumah. Upacara penyambutan pun digelar sebagai ekspresi rasa syukur. Tidak dapat dipungkiri, para penyambut mengharapkan oleh-oleh dari Makkah akan dikeluarkan pada saat itu, termasuk kisah tentang pengalaman dan perasaan mereka ketika di Tanah Suci.
Maka, air yang penuh berkah dari sumur Zam-zam pun dihidangkan, juga kurma Madinah serta berbagai jenis buah-buahan khas Timur Tengah. Tak ketinggalan perlengkapan sholat berupa sajadah, peci, butiran tasbih bahkan pakaian turut dibagikan kepada orang-orang tertentu. Keharuan dan kegembiraan meyelimuti suaana pada saat itu.
Air zam-zam dari Tanah suci Makkah, kurma dari Madinah, makanan khas Timur Tengah, perlengkapan sholat dan pakaian dari berbagai penjuru dunia yang dibeli di Tanah haram, juga kisah perjalanan dan pengalaman seseorang selama menunaikan ibadah hajji adalah oleh-oleh yang diterima dengan rasa syukur. Dalam hati masing-masing pengunjung yang belum mampu atau berkesempatan berangkat berhajji tertanam keinginan kuat untuk sampai ke Tanah Suci memenuhi panggilan Allah, seperti Bapak Hajji/ Ibu Hajjah yang mereka sambut.
Keinginan yang kuat untuk berangkat menunaikan ibadah hajji sewajarnya ada dalam hati masing-masing individu muslim, karena panggilan Allah untuk mendatangi “Rumah-Nya” telah tertanam secara fitri bagi mereka, dan telah tertulis kewajiban itu dalam Kitab Suci maupun dalam catatan Sunnah Qawliyah Nabi SAW.
Sebagai penyempurna rukun Islam, sebagaimana rukun Islam lainnya yang memiliki implikasi sosial, begitu juga dengan berangkat Hajji ke Baitul Haram bagi yang mampu. Keberangkatan itu bukanlah sekedar wisata rohani dan bersifat individual belaka, namun membawa suatu missi bagi perubahan sosial. Para Hujjaj adalah duta-duta ummat dalam menyampaikan permasalahan sosial di kawasan tinggal mereka masing-masing.
Di Tanah Haram akan tampak gambaran betapa Islam adalah suatu aturan hidup yang universal. Walaupun dari beragam ras dan bangsa, dari berbagai kelompok, golongan dan satus sosial, semuanya melebur di dalam satu kesatuan. Disana tidak ada perdebatan, tidak ada pertentangan dan ketidaksenonohan.
Miniatur (maket) masyarakat ideal nampak dalam prosesi ibadah hajji. Dan tugas para Hujjaj adalah membangun sebuah peradaban dengan mengambil pola berdasarkan miniatur tersebut. Masyarakat yang hidup dalam kesetaraan, hubungan sosial yang saling membagikan keselamatan, aktifitas penghidupan yang berorientasi kesucian dan keagungan, rotasi kehidupan yang berporos pada kemuliaan sistem rabbani, semua itu yang akan dibangun di tempat tinggal masing-masing hujjaj yang mereka adalah sebagai pioneernya.
Dari sumur zam-zam, memancar air yang melegakan mereka yang kehausan menempuh perjalanan di tengah gurun tandus. Mereka yang belum sampai ke sana masih dapat menikmati kesegaran dan keberkahan air zam-zam ini, sebagai buah tangan para hujjaj yang kembali.
Tersirat makna dari zam-zam ini adanya sumber air kehidupan yang akan membuat kelegaan bagi yang meneguknya, setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan di pentas kehidupan. Zam-zam adalah gambaran kesatuan konsep dan jiwa Al-Quran, karena Al-Quran adalah mata air yang tak akan kering dan sumber inspirasi dalam menata gerak membangun peradaban agung Madinatul Munawwarah. Air Zam-zam juga berguna sebagai penawar penyakit, begitu juga dengan Al-Quran sebagai obat bagi peradaban yang sakit.
Kebaikan yang didatangkan oleh para Hujjaj melalui tangan mereka adalah buah tangan terbaik yang akan membebaskan kaum lemah dan tertindas. Hajji yang berkualitas mabrur adalah apabila terselenggara proses perbaikan kehidupan sekembalinya ke tempat asal.
Program “memberi makan dan menebarkan salam” bukan sekedar mengadakan kenduri dan menyapa “assalaamu ‘alaikum”. Memberi makan masih dapat dilakukan siapa saja dalam makna menraktir makan dan mengganti “hello” dengan ucapan salam, bahkan orang-orang fasik pun dapat melakukan hal itu.
Memberi makan bermakna lebih luas yaitu dengan menciptakan kesejahteraan bagi ummat, dan menebarkan salam bermakna membangun kehidupan yang interaksi manusia-manusianya saling memberikan keselamatan.
Kesimpulannya, program “Penyejahteraan dan Penyelamatan” adalah oleh-oleh yang dibawanya dari tanah Suci yang akan dibagikannya secara merata ke seantero jangkauannya, sebagai bukti cum laude nya ibadah hajji dan tugas dari gelar “Hajji”nya.
Sebagai bekal perjalanan Hajji, Allah telah memerintahkan untuk mempersiapkan bekal berupa taqwa (QS 2: 197). Dan bekal ini tidak akan pernah habis dan tidak akan pernah usang. Dan ketaqwaan adalah pakaian yang akan menjaga kita dari dingin maupun teriknya kehidupan yang menggelisahkan. Dengan taqwa sebagai pakaian yang diturunkan Allah kepada kita, kita telah memakai pakaian kebesaran sebagai insan mulia. (Perhatikan QS 7: 26, juga QS 49: 13). Pakaian ketaqwaan inilah yang hendaknya dibagikan oleh para Hujjaj baik sebelum maupun sekembalinya mereka dari Tanah Suci.
Seseorang yang tidak memiliki tidak akan mampu memberi. Agar mereka dapat membagi-bagikan pakaian taqwa ini kepada manusia sekelilingnya, ketaqwaan itu telah menjadi pakaian mereka.
Pakaian taqwa yang merupakan rajutan benang ilmu, dan hasil proses pemintalan iman dan jahitan dari amal shaleh. Maka pakaian taqwa hanya dapat dibagikan kepada orang-orang tertentu yang memang haus akan ilmu, dan telah siap dengan sikap iman (siap dengar dan siap patuh) dan melaksanakan amal shaleh (perbaikan kehidupan masyarakat). Maka membagikan ketaqwaan berarti memberikn pembinaan berupa pencerahan berpikir, pengarahan sikap dan perilaku dan membangun karakter masyarakat agar sesuai dengan tuntutan syariat. Dan sekali lagi, para Hujjaj adalah pioneernya.


TENAGA DALAM UNTUK PENGOBATAN


Ekstrak Ilmu Tenaga Dalam :
Episode : Pengantar

Salam Persahabatan...
"Tiada manusia satupun di dunia ini...
Yang tak pernah sakit....
Hal ini menandakan bahwa kekuatan dan kepandaian yang dimiliki oleh manusia...
Memiliki batasan kodrati sebagai makhluk yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta..."
Berikut ini penulis paparkan sebuah aplikasi dari Ilmu Tenaga Dalam yang ditujukan untuk penyembuhan suatu "penyakit". Sebagaimana kita ketahui bersama... Betapa mahalnya arti dari sebuah kata "kesehatan" bagi umat manusia yang hidup di dunia ini...
Dalam berbagai aliran dari  ilmu Tenaga Dalam, secara garis besar memiliki 3 bentuk teknik penyembuhan terhadap penyakit (proses) yang tidak jauh berbeda yakni :
·        Teknik Menghancurkan Penyakit
·        Teknik Menyedot dan Membuang Penyakit
·        Teknik Netralisir dan Penambahan Energi
Adapun ketiga teknik yang digunakan tersebut biasanya menggunakan 3 macam bentuk pernafasan yaitu :
1. Pernafasan Tarik, yang berarti :
·        Melakukan pernafasan dengan melakukan tarikan nafas melalui hidung dengan cepat, keras, dan kuat...
·        Kemudian ditahan beberapa saat di solar plexus
·        Dan melepaskan nafas secara perlahan-lahan/halus...


2.  Pernafasan Tolak, yang berarti :
·        Melakukan pernafasan melalui hidung dengan tarikan yang perlahan/halus...
·        Kemudian ditahan beberapa saat di solar plexus...
·        Dan melepaskannya melalui hidung dengan hentakan nafas yang kuat, keras, dan cepat...
3.  Pernafasan Tarik-Tolak (kombinasi), yang berarti :
·        Melakukan pernafasan melalui hidung dengan tarikan yang cepat, kuat, dan keras...
·        Kemudian ditahan/simpan beberapa saat di solar plexus...
·        Lalu dilepaskan dengan nafas hentakan yang kuat, keras, dan cepat...
Sedangkan penggunaan pernafasan untuk pengobatan penyakit tersebut dapat dilakukan dengan cara :
·        Berdiri di depan pasien yang akan diobati..
·        Duduk bersila ataupun bersimpuh dihadapan pasien...
·        Ataupun dapat dilakukan sambil duduk di kursi
Untuk Teknik penghancuran penyakit, pembuangan penyakit, maupun tahap penetralisiran akan di postingkan di halaman yang lain...











Ekstrak Ilmu Tenaga Dalam :
Episode : Teknik Menghancurkan Penyakit

Salam Persahabatan...
Untuk menyembuhkan penyakit yang di derita pasien ataupun anda sendiri, tempelkan/arahkan salah satu telapak tangan pada bagian tubuh yang di rasa sakit...
·        Awali dengan bacaan do'a penyembuhan seperti : Basmallah, Suratul Al-Fatihah, ataupun do'a ajian penyembuhan yang anda miliki...
·        Baru kemudian hancurkan penyakit tersebut dengan "tembakan" energi yang disalurkan melalui telapak tangan anda dengan cara :
·        Tarik nafas halus melalui hidung...
·        Tahan beberapa saat di bawah solar plexus (pusar)...
·        Lepas nafas hentak (menghembuskan nafas dengan keras) ke bagian tubuh yang dirasa sakit (pernafasan tolak)...
·        Ulangi pengerahan sistem pernafasan tolak tersebut untuk beberapa kali ulangan hingga anda sendiri merasa cukup untuk melemahkan penyakit yang sedang anda hancurkan tersebut...
·        Pada waktu anda menghembuskan nafas tersebut harus benar-benar dapat anda visualisasikan dan rasakan adanya aliran yang bergerak dan memancar melalui telapak tangan anda menuju ke arah tubuh si-pasien...., seolah-olah membentur bagian tubuh yang dirasa sakit... Dengan tujuan untuk melemahkan dan sekaligus menghancurkan penyakit yang ada di dalamnya...
Selanjutnya adalah giliran dari tahap /proses pembuangan penyakit (penyedotan) yang sudah di hancurkan dengan sistem pernafasan tolak tersebut di atas..., yang akan penulis postingkan di lain kesempatan...

Ekstrak Ilmu Tenaga Dalam :
Episode : Teknik Menyedot Dan Membuang Penyakit

Salam Persahabatan...
Sambungan episode terdahulu..., kini giliran tahapan aplikasi dari tenaga dalam dalam hal pengobatan untuk teknik menyedot dan membuang penyakit pada si-penderita (pasien).
Seperti langkah sebelumnya..., tempelkan salah satu telapak tangan anda pada bagian tubuh pasien yang sakit...
Yang sebelumnya..., penyakit yang di-derita si-pasien telah anda hancurkan dengan "tembakan" sistem pernafasan tolak hingga dirasa telah melemah kekuatan penyakitnya.
Sedot rasa sakit/penyakit yang telah dihancurkan tersebut lalu visualisasikan untuk membuangnya ke suatu tempat yang lain yang sangat jauh... entah di galaxi yang mana ? sesuai dengan kehendak dan visualisasi bathin anda dengan cara :
·        Menggunakan teknik pernafasan tarik-tolak, dengan menggunakan menarik nafas getar secara kuat melalui hidung...
·        Dan secepatnya melepas nafas dengan keras untuk membuang penyakit yang telah dihancurkan pada tubuh si-penderita (pasien)...
·        Gunakan amalan bacaan do'a penghancuran penyakit..., semisal : Yaa Allahu-Yaa Jabarru..., Yaa Allahu-Yaa Mumittu..., ataupun yang lainnya.
·        Pada waktu anda menarik nafas harus benar-benar divisualisasikan atau diniatkan untuk menarik ataupun menyedot penyakit dan pada waktu melepaskan nafas divisualisasikan untuk membuang penyakit jauh-jauh dari tubuh si-pasien...
·        Ketika melakukan nafas hentak/keras dalam pembuangan penyakit, telapak tangan yang ditempelkan pada tubuh si-penderita juga harus digerakkan menjauh..., Seolah-olah mencabut penyakit dari akarnya untuk di lemparkan keluar...
·        Ulangi teknik pernafasan tersebut dalam beberapa kali proses pembuangan hingga dirasa cukup...
Selanjutnya adalah Tahapan Netralisasi dan Pengisian Energi Murni Penyembuhan bagi si-pasien yang telah dihancurkan dan dibuang penyakitnya agar memperoleh imun = kekebalan t

penyebar islam di tatar sunda



BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.

Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).

Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.

Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.

Sumber-sumber Sejarah

SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.

Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

Tokoh Cakrabuana

BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.

Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.

Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.

Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.

Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).

Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).

Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.

Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.

Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.

Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.

Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.

Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.

Tokoh Kian Santang

SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.

Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.

Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat Syahadat.

Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.

Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.

Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.

Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.

Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.

Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran Kian Santang.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.

Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.

Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.

Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).

Tokoh Syarif Hidayatullah

SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.

Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.

Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya menyebarkan Islam di sana.

Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).

Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.

Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan orang-orang Eropa.

Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.

Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.

Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.

Khatimah

DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.

Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).

Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.

Daftar Pustaka

* Didi Suryadi. 1977. Babad Limbangan.
* Edi S. Ekajati. 1992. Sejarah Lokal Jawa Barat. Jakarta: Interumas Sejahtera.
* _________. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarahi). Jakarta: Pustaka Jaya.
* Hamka. 1960. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Nusantara.
* Pemerintahan Propinsi Jawa Barat. 1983. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat.
* Sulaemen Anggadiparaja. T.T. Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa. Diktat.
*
Yuyus Suherman. 1995. Sejarah Perintisan Penyebaran Islam di Tatar Sunda. Bandung: Pustaka.

http://sundaislam.wordpress.com/2008/04/04/cakrabuana-syarif-hidayatullah-dan-kian-santang/
Diposkan oleh syufrizal abu ikhwan : di 14:34 0 komentar
Syekh Abdul Muhyi pamijahan
Syekh Abdul Muhyi dilahirkan di Mataram tahun 1650 M/1071 H dari seorang Ibu yang bernama Rd. Ajeng Tanganjiah sebagai keturunan dari Sayidina Husen dan ayahnya bernama Sembah Lebe Wartakusumah keturunan dari raja Galuh. Beliau tiadak lama hidup di Mataram tapi beralih ke Gresik dengan orang tuanya. Beliau selalu mendapatkan pendidikan Islam dari orang tuanya dan ulama-ulama di Ampel/Gresik. Kira-kira berumur 19 tahun Beliau melanjutkan pendidikannya ke Kuala Aceh pada gurunya yang bernama Syekh Abdul Rouf bin Abdul Jabar selama 8 tahun.

Pada waktu berumur 27 tahun Beliau bersama teman-temannya sepesantren dibawa ke Bagdad oleh gurunya untuk menjiarahi makam Syekh Abdul Qadir Jaelani Qaddasallahu Sirrohu. Disana Beliau tinggal selama 2 tahun untuk menerima ijazah Agama Islam. Setelah itu oleh gurunya dibawa ke Mekkah untuk ibadah Haji. Ketika berada di Baitullah tiba-tiba Syekh Abdul Rouf ( gurunya) mendapat ilham bahwa diantara santrinya itu ada yang mendapat pangkat kewalian.

Pada ilham itu dinyatakan bahwa manakala tanda itu telah nampak olehnya, maka ia harus segera menyuruh orang itu pulang dan terus mencari gua di Pulau Jawa bagian barat untuk menetap disana. Gua itu sebenarnya bekas Syekh Abdul Qodir Jaelani menerima ilmu agama Islam dari Gurunya (Imam Sanusi).

Pada waktu suatu saat sekitar waktu Asar Syekh Abdul Muhyi dengan teman-temannya sedang berkumpul di Masjidil Harom tiba-tiba datanglah cahaya yang langsung menuju wajah beliau dan hal itu langsung diketahui oleh gurunya Syekh Abdul Rouf. Gurunya terkejut dan ia ingat akan ilham yang pernah diterimanya.

Setelah kejadian tsb sang guru segera membawa pulang Syekh Abd. Muhyi ke Kuala tahun 1677 M yang kemudian disuruh pulang ke Gresik dan ditugaskan untuk mencari gua dan menetap di sana.

Sebelum melaksanakan perintah gurunya Beliau nikah dengan seorang istri yang bernama Ayu Bakta. Setelah menikah berangkatlah bersama istrinya meninggalkan Gresik menuju ke arah barat dan sampailah beliau di daerah yang bernama Darma Kuningan. Di sana beliau disuruh penduduk untuk memberi pendidikan Islam. Setelah disana menetap selama 7 tahun beliau melanjutkan tugas gurunya yaitu mencari gua. Beliau mengarahkan langkahnya ke Jawa Barat kemudian belok ke sebelah selatan, maka sampailah beliau di Pameungpeuk (Garut Selatan). Di sana beliau sempat bermukim selama 1 tahun sambil menyebarkan Agama Islam.

Setelah itu beliau menuju suatu tempat yang bernama Batuwangi. Disana tidak bermukim terlalu lama karena tugas utamanya belum terlaksana. Kemudian beliau menuju Lebaksiuh. Selama 4 tahun di Lebaksiuh beliau mengajak orang-orang yang beragama Hindu untuk memeluk agama Islam.

Disamping beliau menyebarkan agama Islam dan memupuk kader sebagai pelanjut perjuangan, beliau tidak lupa juga mencari gua yang ditunjukkan gurunya dengan cara bertani. Namun bertani beliau berbeda dengan bertaninya masyarakat disana yaitu menanam padi hanya untuk mencari dimana adanya gua. Karena itu beliau mengharapkan dari hasil panennya itu tetap sebagaimana banyaknya benih asalnya( bila menanam satu tangkai hasilnya satu tangkai lagi). Tetapi berkali-kali beliau tidak berhasil. Lalu beliau mengarahkan langkahnya ke sebelah timur. Dari atas gunung Kampung Cilumbu beliau melihat sebuah pemandangan yang sangat indah. Akhrinya beliau tertarik dan turun ke lembah itu untuk melhat indahnya pemandangan dan disana beliau mencoba menanam padi.

Bila senja tiba beliau kembali pulang ke Lebaksiuh yangjaraknya sekitar kl 6 km. Karena di tempat itu benar-benar membawa rasa tenang dan tentram maka beliau namakan tempat itu Gunung Mujarod.

Pada suatu hari sedang asyik bertafakur kepada Allah tiba-tiba beliau menoleh ke arah padi yang beliau tanam. Ternyata padi yang ditanamnya menghasilkan biji sebanyak biji yang ditanam asalnya. Kemudian ketika beliau berjalan sedikit ke sebelah timur, dari tempat itu beliau mendengar terjunnya air dan kicauan burung kecil keluar dari dalam lubang besar. Maka turunkah beliau ke arah suara itu berada. Ternyata sebuah gua yang ciri-cirinya persis seperti yang ditunjukkan gurunya. Mendadak seketika beliau menengadahkan tangannya untuk bersyukur kepada Allah. Beliau berjuang mencari gua tersebut selama 12 tahun. Sedang usi beliau pada waktu menemukan gua tsb genap 40 tahun.

Setelah gua ditemukan maka beliau bermukim disana beserta keluarga dan para pengikutnya. Di sana beliau mendidik santri-santrinya dengan penuh ketekunan dan kesabaran sehingga mereka benar-benar sudah menjadi muslim yang penuh dengan ilmu pengetahuan agama Islam. Disamping itu beliau selalu suluk menempuh keridoan Allah dengan jalan Tareqat , yaitu Tareqat Satariah dan Nabawiah.

Setelah berpuluh-puluh tahun beliau berjuang merintis agama Islam yang diawali dengan mendidik santri-santrinya sebagai kader perjuangan. Berkat kesabaran ketabahan dan ketawakalannya akhirnya agama Islam menyebar khususnya ke daerah Priangan selatan, lalu masuk ke daerah Sukapura juga ke daerah Ciamis bekas kerajaan Galuh. Juga tercium sampai ke Bandung , Cirebon, Surabaya dan Mataram bahwa di Jawa Barat Selatan ada penyebar agama Islam yang tinggi ilmunya.

Pada suatu hari datang utuasan dari Mataram membawa surat dari Sultan Adipati Ngalanga untuk beliau. Isi suratnya menyatakan Sultan tertarik dengan kealiman dan kebijaksanaannya dalam cara mengembangkan agama Islam, karena itu ia dipanggil untuk mengajar para putranya dengan menjanjikan akan memerdekakan daerah Pamijahan.

Pada waktu kekuasaan Belanda mulai merambah Tasikmalaya selatan tercium juga oleh Belanda bahwa ada seorang ulama besar penguasa daerah. Lalu Belanda mengirimkan utusannya supaya beliau dan masyarakatnya tunduk dibawah pemerintahan kolonial Belanda dengan mewajibkan membayar pajak tiap tahun. Namun meskipun daerahnya sudah dikuasai Belanda tetapi beliau menolak tidak memberikan pajak dengan alasan karena daerah tersebut daerah yang telah dimerdekakan oleh kesultanan mataram dan Belanda bukan orang Islam sehingga memberikan pajak/sumbangan kepada mereka haram hukumnya.

Pada waktu usia 80 tahun tepatnya pada tanggal 8 Jumadil Awal tahun 1151 H/1730 M beliau wafat. Hingga sekarang makamnya banyak dijiarahi orang dari berbagai dpeloksok tanah air. Selanjutnya pemeliharaan makam dilakukan oleh putra keturunan beliau sampai sekarang.

Asal-usul Gua Pamijahan

Gua pamijahan adalah bekas Syekh Abd. Qadir jaelani menerima ilmu agama Islam dari gurunya Imam Sanusi 200 tahun sebelum Syekh Abd. Muhyi.

Gua Pamijahan terletak di sebuah kaki bukit yang bernama Gunung Mujarod (tempat penenangan)